Sabtu, 21 Mei 2016

Hukuman di Sekolah

Ngomongin soal hukuman masa sekolah gue dulu, itu kalo diinget sekarang malah lucu. Sebagian hukuman yang pernah gue terima malah kesengajaan gue minta dihukum :D

Kayak sengaja bolos karena hari kejepit dan ngakunya sakit, padahal guru gue itu tetangga gue. Guru gue liat gue lagi asik nonton lomba panjat pinang di samping rumahnya, haha... Nyari masalah, kan?

Kena pukul penghapus di jari-jari, karena sengaja bilang belum mengerjakan soal Fisika. Takut sih waktu guru gue bilang bakal kena hukuman kalo belum dikerjain, tapi temen-temen gue belum bisa ngerjain soal itu. Kejadian ini waktu baru masuk SMP, pertama kalinya ngerjain soal Fisika. Gue masih asing sama temen-temen baru dan takut kasih contekan (gue benci PR gue dicontek temen sebenarnya). Ya sudah, terpaksa gue bohong belum ngerjain.

Terus sengaja salah jawab soal karena udah hampir semua temen sekelas kena hukuman (jongkok berdiri namanya apa, ya?), dipelajaran PKN. Gue doang yang belum, temen nyuruh gue tatap mata guru gue biar disuruh jawab. Gue nurut saja, seneng juga pas kena hukuman :D

Kena cubit di pinggang. Sengaja juga. Ngaku belum ngerjain PR Bahasa Indonesia tentang berita di TV. Gue udah ngerjain di kertas, belum dipindahin ke buku PR, karena anak satu kelas bilang jangan ada yang ngerjain soal. Ceritanya waktu itu mereka ngambek (lupa karena apa). Akhirnya gue simpen kertas PR gue dan beberapa temen yang udah ngerjain PR juga menyembunyikan PR mereka. Pokoknya kita kompak dihukum. Padahal itu hukuman tersakit, dicubit pinggangnya sampe biru -_-

Terakhir waktu kelas 3 SMP. Lagi-lagi sekelas sepakat nggak mau ngerjain PR Seni Rupa. Cuma gue sama tiga orang temen yang ngerajan tuh PR. Tadinya mau ngumpulin tuh PR, tapi pas guru gue bilang, "Yang nggak ngerjain PR, kerjain di lapangan!"

Secara otomatis gue sama Evi bawa buku PR kita dan maju ke kelas untuk dihukum di lapangan (gue sekolah itu siang dan pelajaran itu jam pertama. Matahari lagi di puncak kepala. Wih.)

Sebelum digiring keluar, guru gue nahan dan ngeliatin gue. "Kamu beneran belum ngerjain PR?"

Gue senyum-senyum, "Iya." Gue langsung ngeloyor ke lapangan.

Padahal gue itu nggak bisa kena panas, bisa langsung mimisan. Dari jauh guru gue teriak buat gue sedikit ke tempat adem dan jangan sampai buku PR gue disalin temen-temen yang dihukum. Gue melambai oke bersama buku temen gue. Padahal buku PR gue mah udah disebar ke mana-mana.

Banyak lagi deh kesengajaan gue minta dihukum waktu sekolah. Sebelumnya gue pernah ditampar waktu SD, karena guru gue salah mengerti ucapan gue dan itu rasanya sakit banget. Kepala gue mendadak pusing dan mual, gue kagak ngadu ke nyokap. Itu pertama kalinya gue sakit hati dihukum guru, tapi cuma hari itu. Besoknya gue malah belajar gimana bersuara jelas biar guru gue nggak salah paham lagi.

Sekarang kalo diinget lagi masa sekolah, menyenangkan banget. Modal cerita untuk anak gue nantinya :v
Itu hukuman yang gue sebutkan semuanya pertama kali gue terima. Zaman SD gue mana berani bikin masalah, sekolah saja jarang karena seringnya sakit di rumah.
Entah kenapa pas SMP gue pengin banget kena hukuman kayak temen yang lain, bukan suka >.<
Lagian waktu itu kayaknya gue terlalu pro banget di kelas, anak baik banget. Dibilang terlalu rapuh menghadapi tantangan di sekolah. Akhirnya gue mencoba sedikit berontak, tapi tetep berprestasi lho. Guru-guru juga tahu perubahan sikap gue karena rasa solidaritas. Akhirnya gue punya kehidupan normal di sekolah, terlibat masalah, kena hukuman, wkwkwk..

Itu berita tentang lapor-melapor miris banget. Seakan ada dendam kesumat karena dulu sering dihukum dan orangtuanya malah nambah hukuman, sekarang anaknya dihukum eh lapor ke polisi.

Gue beneran nggak ngerti. Kalo orangtua gue lapor ke polisi atas tindakan hukuman yang memang layak anaknya terima, gue bakalan malu ke sekolah.

Ada satu temen SD gue yang apa-apa ngadu ke orangtuanya, padahal temen gue itu nakal banget di kelas. Berisik, seringnya main di mejanya, nggak pernah ngerjain PR, kalo pake seragam asal saja. Orangtuanya dateng ke sekolah marah-marah. Guru gue jadi serba salah sama temen gue itu, akhirnya kenakalannya diabaikan. Dampaknya, kondisi temen gue jadi aneh. Dia jadi malu bersosialisasi sama yang lain. Sukanya menyendiri. Akhirnya nilainya jadi turun. Mentalnya jadi mental tempe, karena apa-apa ngadu dan malu sendiri.

Anak yang begitu itu nggak punya cerita menarik nantinya pas dewasa. Kasihan.

#SaveGuru

Minggu, 21 Februari 2016

Cinta dan Bom

Maya Luca
Judul: Cinta Dalam Bom

Suasana pagi di dalam rumah sederhana yang berada di ujung gang, mencekam. Ada tiga orang pria di dalam sana, dua orang sedang menonton berita pengeboman kemarin siang di Sarinah, Jakarta Pusat, dan seorang lagi terbaring di sofa panjang dengan pandangan hampa. Sudah semalaman mereka dalam posisi itu, tiga cangkir kopi di meja tak tersentuh sejak disediakan.

Seseorang mematikan televisi dan menatap—pertama kalinya sejak ia masuk ke dalam rumah—seorang yang terbaring di sofa. “Sarinah? Sarinah! SARINAH!” Ia, Sanjaya pemimpin teroris, bertanya dan berteriak.

Lucky, seorang yang terbaring, tak merespon bentakan pimpinannya. Setetes air mata lolos dari mata Lucky, membuat Sanjaya geram. “Apa yang ada dalam pikiran lo ngebom kota sendiri? Gue bilang Suriah, itu jelas sekali!” seru Sanjaya kini berdiri, seorang yang duduk bersamanya masih geming. “Ini bukan pertama kalinya kita jadi teroris, Lucky! Lo orang kepercayaan gue. Bahkan saat gue suruh lo ngebom kandang ayam Pak RT karena ayamnya suka matok gue pas lewat, lo tanpa ragu melakukannya.”

Akhirnya Lucky menatap Sanjaya, setetes air matanya kembali lolos, ia duduk. “Gue tau, Bos, tapi—“ Lucky terisak, kini tetes-tetesnya semakin banyak.

“Gue tau ini buruk, Ky, tapi coba jelasin secara perlahan kenapa Sarinah. Itu jauh sekali sama kata Suriah,” ucap Rian, seorang yang masih duduk.

Lucky menggeleng. “Gue udah suruh yang lain pergi ke Suriah tanpa gue,” kata Lucky terisak, tatapannya tak lepas dari Sanjaya. “Lo tau, kan, Bos, mereka selalu curiga gue dapet kerjaan yang lebih keren dari lo. Jadi, mereka mengikuti gue ke Sarinah dan…, dan—“

Sanjaya tak tahan lagi, ia hapus air mata Lucky dengan kasar. “Jangan bilang ini soal itu?” tanya Sanjaya muak. “Idiot! Lo melalaikan tugas, membuat anak buah gue mati sia-sia di negaranya sendiri, dan saat mereka adu tembak sama polisi…, lo malah kabur!”

Lucky berdiri dan melototi Sanjaya. “Gue nggak kabur! Iya, soal itu. Ini penting buat masa depan gue, dan anak buah lo yang sok tau melukainya!” teriak Lucky, frustrasi. “Kalau lo mau bunuh gue, bunuh sekarang! Semuanya udah berakhir.”

Sanjaya membuang muka, ia menatap Rian yang masih terpaku. “Biarin idiot ini menenangkan diri dulu, Yan, tapi terus awasi dia jangan sampai berbuat konyol lagi. Gue pergi,” ucap Sanjaya, suaranya tercekat.

Sanjaya langsung keluar rumah tanpa menatap Lucky lagi. Baru sampai di depan pintu, Rian menahannya. “Tunggu, Bos!” serunya, seraya menyerahkan ‘gadget’ ke hadapan Sanjaya. “Ini Lusi, kan?”

Sanjaya mengangguk, wajahnya merah padam. “Iya, dia memang kerja di Sarinah,” jawabnya melihat foto gadis yang kakinya berdarah dan dipapah pengemudi sepeda motor berjaket hijau. “Ini soal Lusi. Cuma gadis itu yang bisa mengacaukan pikiran Lucky, tapi hubungan mereka sedang bermasalah, makanya gue menugaskan dia ke Suriah. Sekarang semuanya kacau.”

“Lo nggak apa-apa, Bos?” tanya Rian, prihatin.

Sanjaya menundukkan wajahnya sebentar dan menatap Rian, setetes air mata lolos dari mata kirinya. “Hati gue sakit, Yan. Cinta gue ke Lucky nggak berarti apa-apa buatnya,” ucap Sanjaya.

“Cinta bertepuk sebelah tangan memang menyakitkan, Bos,” ucap Rian, tatapannya menerawang jauh dengan satu tangan memeluk Sanjaya yang kini menangis.

Jakarta, 23 Januari 2016

Kompetisi menulis flash fiction di grup Belajar Bareng Bunda Veronica

Aku Lupa Pisau Bedahku

Maya Luca
Judul: Aku Lupa Pisau Bedahku

Nirmala memandangku dengan benci, kedua tangan dan kakinya yang kuikat di kursi bergerak-gerak. Suaranya serak, karena sepanjang malam dia terus berteriak padaku. Aku memalingkan wajah ke lelaki yang kuborgol di tempat tidur. Masih telanjang bulat, dia menatapku dengan penuh amarah. Kedua pergelangan tangannya berdarah. Mulutnya kulakban, karena meludahiku semalam.

“Jodi, lepaskan Farid. Dia kesakitan,” ucap Nirmala.

Seperti kekasihnya, Nirmala telanjang bulat. Gadis hina, padahal baru sebulan orangtuanya meninggal dunia. Nirmala kini terlihat jelek, dia bukan lagi gadis kecil yang selama dua puluh tahun kucintai setengah mati. “Ssst, dia akan menyaksikan kematianmu, Nirmala.” Farid meraung dan berusaha bangkit dari tempat tidur. Nihil.

“Apa salahku padamu?” suara Nirmala mencicit.

“Karena kau tidur dengan si busuk itu! Aku sudah membebaskanmu dari keluargamu yang tak suka padaku, tapi kau masih mengabaikanku!”

Mata sembap Nirmala terbelalak. “Jadi, orangtuaku bukan bunuh diri? Kau membunuh mereka!” teriak Nirmala, menangis. “Suara wanita yang didengar ibuku sebelum meninggal, bukan halusinasinya?”

Aku tertawa kecil. “Itu suara ibuku, dia melarangku membunuh ibumu, tapi wanita itu tak bisa berbuat apa pun untuk menghentikanku.” Aku mendengus. “Kurasa sudah waktunya. Matahari akan segera terbit, aku harus bercukur dan pergi bekerja.”

Aku merapikan sarung tangan yang sejak semalam kupakai dan mengambil pisau di dapur Nirmala. Aku tak suka pisau dapur, terlalu tumpul untuk menyayat kulit yang alot. Favoritku adalah pisau bedah kecil, tapi lagi-lagi aku lupa membawanya.

“Apakah kau punya pisau yang lebih tajam, Nirmala?” tanyaku, Nirmala menggeleng, dia mulai menjerit-jerit lemah. “Menyedihkan sekali. Suaramu habis. Bagaimana kalau kita memotong lidah tak berguna itu?”

Nirmala menggeleng, mulutnya tertutup rapat. Farid kembali meronta, tapi tak kupedulikan kali ini. Aku membuka paksa mulut Nirmala. Jeritan Nirmala tertahan saat aku tak jadi memotong lidahnya. “Ini tak mengasyikkan, pisaumu tak cukup tajam. Hm, sepertinya ini akan sama seperti yang kulakukan pada orangtuamu.”

“Jangan, Jodi!” Pengganggu! Aku menoleh ke samping, ibuku. Seketika kutampar pipinya dengan kuat, hingga dia terempas ke belakang.

Sial, setiap kali menyakiti dirinya, aku merasakan hal sama. Wanita sialan, dia seharusnya sudah mati dua puluh tahun lalu, tapi dia masih mengikutiku ke mana pun. “Pergi!” bentakku.

Ibuku bangkit dan menatapku penuh permohonan. “Jangan lakukan lagi, Jodi,” ucapnya lembut, bibirnya robek dan berdarah.

Aku menjilat darah dari bibirku. “Diam! Dia mengabaikanku seperti keluarganya yang menganggapku sinting, dia ketakutan setiap melihatku. Sama sepertimu ketika aku berumur sepuluh tahun. Kau menjauhkanku dari adikku dan pura-pura mati saat kudorong dari lantai tiga. Kalian yang mengabaikanku harus mati,” teriakku kembali menamparnya, meski sakitnya kurasakan juga.

Aku kembali menghadap Nirmala. Aku harus segera bercukur, cambang di daguku yang baru tumbuh sungguh menganggu. “Suara wanita itu, kau?” tanya Nirmala, tepat ketika aku mengiris pisau di pergelangan tangannya.

Farid berusaha menjerit ketika kulihat keadaannya, dia menangis. “Kau akan bebas beberapa jam lagi. Semua ini akan menjadi rahasia kita berdua. Tak akan ada bukti apa pun. Nirmala mengalami gangguan jiwa, karena orangtuanya bunuh diri. Yah, tentu saja aku yang menulis semua itu waktu dia berkonsultasi padaku. Diamlah dan cari pelacur lainnya atau perlu aku menuliskan catatan gangguan jiwa untukmu juga?" tanyaku, segera melenyapkan semua bukti, kecuali pisau yang kini berada di tangan Nirmala.

Jakarta, 16 Januari 2016

Kompetisi menulis flash fiction di grup Belajar Bareng Bunda Veronica.

Kado part. 1

Masih dua bulan lagi ultah, gue udah request mau kado apa ke sejumlah temen :D
Alhasil, kemarin udah dikasih kado yang gue pengin dari sobat dari kecil. Makasih, Uci :* Untung belum dikasih doanya.

Jadi nggak tau malu gini dah gue >.< Padahal gue paling malu itu minta kado pas ultah, malahan lebih suka nggak ada yang tau ultah gue kapan. Tapi, tahun ini rasanya lagi pengin diperhatikan banget. Musim baper kali, ya? Ketularan lebay jadinya.

Setiap tahun gue hanya bersyukur udah diberi umur sama Allah. Nggak terlalu peduli sama kue, tiup lilin apalagi kado. Takut menyusahkan. Dari kecil gue juga nggak pernah minta apa-apa sama ortu, mereka ingat anaknya ultah aja udah alhamdulillah banget. Soalnya, nggak ada sejarahnya di keluarga Engkong Bontot mengurusi tanggal lahir. Pokoknya mah tahun berganti, kami bersyukur masih menikmati tahun berikutnya. Nah, ajaibnya setiap ketika kami semua berumur 17 tahun, nasi kuning itu pasti ada. Sweet seventeen memang selalu spesial :v

Zaman terus berlanjut, keluarga uwak gue udah lebih modern ketimbang keluarga gue yang masih menganut budaya tahun 50-an -_- (Itu karena Emak yang selalu menolak hidup di zamannya. Emak masih terfokus pada cerita bapaknya tentang tahun segitu. Terjebaklah Emak di zaman sana. Jadullah anak-anaknya sebelum ada gue yang dari lahir udah beda sendiri). Keluarga uwak gue setiap ada yang ultah pasti diberi kue ultah ples lilinnya, ples kado (lo bayangin, anak uwak gue itu sembilan bersaudara. Kado? Lumayan pastinya). Alhamdulillah, anak-anak Emak kagak ada yang iri. Gue juga, paling kalo nggak dikasih kuenya gue ngambek. Maklum kite di rumah itu orangnya pada cuek.

Mau tau? Anak Emak baru gue doang yang dikasih kado pas ultah :p Tahun lalu, mukena berwarna ungu motif bunga.

Jadi, ceritanya tahun lalu Emak ngajak gue ke pasar. Hoho, Emak itu mana pernah ngajak gue ke pasar kalo bukan mau beli sesuatu yang butuh pendapat gue atau keperluan gue. Kita mampir dah ke toko pakaian muslim milik temen Emak waktu di empang dulu. Gue disuruh mencari mukena, katanya kado ultah gue.

Setelah dikeluarkan semua mukena sama si ibu, gue nggak sreg sama warna-warnanya. Maunya warna putih polos, tapi stok abis.

"Itu yang biru bagus (sip, Emak agak buta warna, yang dia tunjuk itu warna ungu. Kalo biru mah gue demen). Itu aja, warnanya Emak demen. Nanti Emak pinjem kalo mau solat," ucapnya sedikit nggak sabaran :D

Belanja sama Emak itu selalu kilat, nggak pernah lebih dari satu kalo bebelian barang. Suka ogah nyari di toko lain, kecuali kalo dibeliin anaknya. Lima toko juga, hayuk.

Beberapa bulan kemudian, uwak gue (abang Emak) ultah. Dibeliin kue ultah sama cucu-cucunya, terus difoto dan ditunjukkan ke Emak. Hadeh, Emak yang seumur-umur belum pernah niup lilin, mukanya langsung manyun.

"Aki-aki gegayaan niup lilin segala," katanya ketus. Gue ngakak aja dengerin gerutuannya. Yeah, meski tadi gue bilang keluarga uwak gue udah modern, itu juga pertama kalinya abang Emak niup lilin di atas kue. Soalnya uwak gue masih menganut budaya 70-an (lebih kekinian dikit). No kue, no lilin, no party.

Kebetulan bulan depan itu Hari Ibu. Untuk membuat Emak agak cakep dikit dengan senyum, gue beliin dia tas di Mbak Indi. Kebetulan tas Bibi di tangerang pas main ke sini, talinya copot, jadi gue kasih tas Emak yang udah lama. Emak bingung nanti pergi pake tas apa. Tas kecil yang beberapa bulan lalu gue beliin, dia kurang suka sama modelnya yang katanya anak muda banget.

Alhamdulillah waktu itu lagi diskon, fee dari tulisan nggak banyak soalnya. Emak kurang antusias, katanya kesian sama gue yang pengangguran uangnya dibeliin tas yang lumayan harganya.

Pas Hari Ibu, di depan tv, Emak nyeletuk. "Kok, lo nggak beliin gue kue?"

Hadeh, si Emak memang ngiri sama abangnya soal kue itu :D

"Kan, kemarin udah dikasih tas Hari Ibu," kaya gie. Emak diem aja. Mungkin kecewa.

Kebetulan tahun depan, Januari kemarin, Emak ultah. Ya sudah, gue beliin kue cokelat dengan lilin angka usia die. Kue pertama dalam 53 tahun Emak menjalani hidup. Masih dengan antusias yang kurang, karenanya lagi kesian sama gue yang uangnya selalu minim.

Mak, kalo bukan aku anakmu, siapa lagi yang akan peduli pada usiamu yang bertambah tua. Selagi aku mampu, kubelikan apa pun inginmu. Ini bukan sola balas jasa-jasa yang telah melahirkan dan membesarkanku, tapi ini wujud rasa cintaku kepadamu, emakku.

Semoga masih banyak tahun-tahun yang akan beliau lalui bersama anak dan cucu-cucunya. Aamiin.

Bersambung.

Selasa, 09 Februari 2016

Hari Ibu Tahun Lalu

Hal yang paling aku tahu dari ibuku, sosok yang tak pernah menunjukkan emosi apa pun. Ibuku selalu berusaha tegar agar dirinya tak terperosok di kubang kesedihan dan menelantarkan anak-anaknya dalam kelaparan.

Dulu waktu alm. Bapak masih ada, aku sering mendengar ibuku menangis. Namun, saat bapakku meninggal, ibuku menjadi satu-satunya sosok yang duduk di hadapan jenasah bapakku tanpa air mata, ia dengan mudah menceritakan mengapa bapakku yang kemarin masih sehat tiba-tiba meninggal. Satu-satunya yang kutahu ibuku sangat bersedih, saat melihat tatapannya yang kosong memandang semua orang yang hadir dengan wajah sedih, tatapan ibuku pun tak pernah lepas dari jenasah suaminya.

Kesedihan paling mendalam, saat kamu tak sanggup mengeluarkan air mata. Namun bagiku ibuku hanya ikhlas dengan takdir Allah.

"Jangan suka menangisi orang meninggal, air mata kita hanya akan membuat mereka yang pergi sedih. Menangis boleh, tapi jangan lama-lama." Ucapan ibuku selalu, jauh sebelum orang-orang yang ia sayangi dipanggil Tuhan.

Tak ada pelukan, belaian, dan kata-kata menyentuh hati sepanjang aku mengenal ibuku. Mungkin dulu waktu aku bayi, oh tidak, ibuku hampir meninggal saat aku bayi karena penyakit mengerikan. Aku satu-satunya anak ibuku yang minum susu formula. Ibuku selalu sibuk berjualan waktu kami kecil.

"Cuma si Maya doang yang beda sifat-sifatnya dari anak-anak gue yang lain. Kecilnya kagak disusuin gue, tapi sapi."

Mak, kurasa tak ada hubungannya sifatku yang beda sendiri dengan apa yang kuminum saat bayi. Lagipula, kata-katamu seperti menyiratkan aku ini anak sapi, bukan anakmu :D

Itu tak kusampaikan, biarlah aku dibilang beda sendiri. Bagiku itu pujian.

Seperti halnya diriku, tak menunjukkan emosi apa pun adalah sesuatu yang paling nyaman. Oh, salah lagi, itu warisan yang diturunkan ibuku untukku.

Walau ibuku begitu, aku tak pernah protes atau iri pada anak-anak lain yang punya ibu penuh emosi (positif). Ibuku marah seadanya, sedih seadanya, tersenyum sederhana, menangis berpaling muka, tangannya keriput waktu kucium, dan kata-katanya harus sering kuralat.

Aku mencintainya, ibuku mencintai anak-anaknya. Tak rela kalau kami meninggalkan rumah, tapi tak bisa berbuat apa pun saat dua kakakku tinggal di rumahnya sendiri (mertuanya). Aku masih harus diantarkan ke mana pun tahun lalu dan masih diberi celotehan panjang lebar (sampai ditakuti-takuti) kalau mau main jauh. Itu satu-satunya emosi nyata ibuku dengan wajah datar, tapi bermakna mendalam.

Kini sudah lebih empat tahun kami berbagi kamar, semakin kutahu dirinya yang dulu selalu tertutup. Ibuku sudah tak malu lagi cerita tentang hatinya (ibuku memang suka bercerita banyak hal, tapi bukan dari curahan hatinya. Ia selalu bercerita tentang orangtuanya, pertemuan dengan suaminya, masa kecilnya, dan hantu-hantu di negara ini), setiap malam ia akan berceloteh saat tahu aku sedang fokus di laptop, baca buku, main hape, dan pura-pura tidur.

Akulah penyampai pesan ibuku kepada kakak-kakakku jika ia menginginkan sesuatu. Aku dan kakak perempuankulah si pengalah saat ibuku lebih fokus kepada kebutuhan anak lelakinya. Oh, ibuku memuja anak-anak lakinya.

Kami, lima anak ibuku sama jika ingin menanyakan apa yang ibuku inginkan. Biasanya keingingin ibuku itu sederhana: diperhatikan. Kami semua memang anak yang kaku.

Bro 1: "Mak, beliin ini, sekalian kalo mau dan ambil kembaliannya." Memberi uang.

Sis: Jarang bertanya, karena biasanya aku yang menyampaikan pesan, tahu-tahu datang bawa pakaian atau memberi uang kepada ibuku. Ibuku selalu menunggu kedatangannya, bukan minta dua yang disebutkan, karena kakakku itu suka bawa makanan yang ibuku jarang makan mengingat lokasi dan harganya.

Bro 2: Ibuku biasanya jarang minta apa-apa sama kakakku yang ini, cukup dia membawa anaknya saja ibuku sudah bahagia. Namun, kakakku yang ini selalu siap sedia mengantar ke mana saja dan kapan pun.

Me: karena aku jarang punya uang, biasanya juga jarang nanya. Kalau lagi punya duit, ya, kami jajan berdua. Apa saja. Kalau uangku lebih, ya, kutanya lagi mau apa (biasanya barang kebutuhan).
Walaupun pengangguran, aku jarang minta uang sama ibuku. Biasanya aku pergi main kalau aku punya rezeki.

Bro 3 (bungsu): Pulang kerja bawa bungkusan dan berseru, "Wah, lupa cuma bawa satu. Mama mau apa Dani beliin?" Jawaban ibuku selalu sama, "Memang lo punya uang?"
Adikku itu selalu menjawab mau berapa memangnya, tapi kalau adikku tak mengeluarkan isi dompetku, ibuku berkata, "Nggak usah, Emak cobain aja makanan lo."
Kalau adikku menunjukkan uangnya, "Nggak usah, Emak cobain aja makanan lo, beliin es sirup Ajo."

Adikku meluncur pergi, aku mendekati ibuku karena tahu ada kelanjutan dari permintaannya. "Emak penginnya martabak telor Bangka." Aku biasanya cuma mendengus.
Kalau kusampaikan pada adikku di depan ibuku, ia akan mengelak dan berkata jangan.

Intinya, ibuku hanya ingin diperhatikan dengan hal-hal kecil, bukan sesuatu yang mewah. Itu membuatnya merasa tak nyaman.

Emak Ayam, Pitik, dan Ibu Berbaju Ungu

Sepupuku punya sepasang ayam, si betina sudah bertelur dan telurnya sudah menetas dua. Seperti emak-emak ayam lainnya, si emak ayam protektif banget sama anaknya. Nggak boleh dekat dengannya dalam radius dua meter, kalo berani dekat bisa langsung dipatok. Itu sakit tau.

Padahal sudah disarankan kalo saat si anak ayam menetas, langsung pisahkan dengan emaknya. Biar si anak mandiri dan emaknya bisa bertelur lagi, terlebih biar nggak baperan dan suka matok.

Terhitung dalam dua minggu setelah tuh ayam jadi emak, udah puluhan orang lewat jadi korbannya. Untung, ye, kagak ada yang laporin dia ke polisi atau sewot bunuh langsung tuh ayam. Namun nahas, di malam Tahun Baru, seekor anaknya menghilang waktu sepupuku berlibur ke Tangerang, beberapa hari lalu memang sudah pernah hilang dia, tapi ketemu lagi. Menurut kesaksian emakku (iya, emakku yang kalo bicara salah ucap mulu), saat siang masih ada, sorenya tau-tau tinggal satu.

"Tau tuh bego banget emaknya nggak bisa jagain anak, bisanya matok doang," kata emakku, ngatain ayam.

Si emak ayam yang suaminya nggak peduli lagi dan anaknya tinggal satu, makin parah galaknya. Lo lagi duduk tapi kaki nggak bisa diem, langsung dipatok.

Kemarin, Minggu pagi yang gerah, aku duduk di depan rumah uwakku. Kebetulan salah satu sepupuku yang bontot (anak uwakku ada sembilan, enam wanita, tiga laki-laki. Empat anaknya sudah menikah, tiga diantaranya masih tinggal di sini. Masing-masing dari mereka menghasilkan anak dua, jadi rumah uwakku selalu rame) sedang mencuci, aku duduk di depannya tepat di jalan. Si emak ayam dan anaknya lepas dari kandang, kini sedang mondar-mandir di jalanan mencari makan.

Ini Minggu pagi, gang depanku itu pasar sudah pasti ramai orang ke sana. Dari jalan kaki sampai naik motor, alhamdulillah nggak ada yang naik mobil. Repot karena pasarnya dalam gang yang tak menyediakan tempat parkir buat mobil dan roda empat lainnya.

Tuh, emak dan anak berkali-kali bikin orang-orang ke pasar ribet, terlebih aku dan sepupuku, harus jadi patung pas mereka lewat.

"Jadi patung, Ya. Nanti kayak gue pas lagi nyuci piring, bergerak-gerak dipatok ayam," katanya jadi patung.

Selang beberapa menit, terdengar suara seorang ibu berkata, "Eh, eh, eh."

Aku menoleh, tepat di sampingku. Si ibu memakai baju warna ungu, duduk di atas motor membonceng bocah, tatapannya tertuju ke sampingku dengan wajah ngeri sesaat. Aku mengikuti pandangannya, astaga..., si pitik sedang terkapar di belakang roda motor si ibu. Sebagian besar sepupuku langsung keluar rumah setelah mendengar seseorang yang menjerit pelan.

Aku diam terpaku di tempat dudukku, wajahku horor, dan sama sekali tak bereaksi. Seperti itu keadaanku kalau syok. Si ibu langsung menjalankan motornya, tanpa menolong maupun minta maaf. Uwakku mengambil si pitikyang masih bergerak lemah, selanjutnya yang kulihat begitu memilukan hati. Semua usus si pitik keluar dan emak ayam bingung mencari anaknya.

Ibu berbaju ungu, mungkin bagimu si anak ayam hanyalah seekor anak ayam dengan harga dua-tiga ribu, tapi tak seharusnya kau pergi begitu saja setelah melindasnya dengan kejam. Apa kau tak melihat bagaimana si induk kebingungan? Tak melihat aku dan lainnya syok tanpa bisa berkata apa-apa melihat kekejamanmu? Harusnya kau minta maaf. Biar si emak ayam galak dan anaknya kadang menjengkelkan, kami semua menyayanginya, gemas dengan tingkah mereka yang baperan.

Untung saja aku tak melihat wajah dan nomor platmu, Bu. Bisa-bisa aku khilaf dan merapal mantra supaya ban motormu bocor sepuluh lubang.

Emak ayam yang kini kehilangan dua anaknya terlihat mondar-mandir mencari anaknya. Suaranya kuyu dan sikap galaknya hilang.

Selamat jalan, Pitik. Tenang di sana bersama saudaramu yang kami yakini sudah mati :'(

RIP Pitik yang tewas secara mengenaskan.

By: Maya Luca yang Bersedih

Kamis, 12 November 2015

Father Day

Aku memanggilnya Bapak. Sosok yang tak bisa kupahami hingga kini. Jangan paksa aku menceritakan sosoknya, aku tak ingin. Tak bisa lebih jelasnya.

Aku hanya ingin memahami beberapa hal darinya: Dia pernah memotong kukuku, membuatkan nasi goreng jika ibu tak memasak, menemaniku ke suatu tempat yang kutakuti atau tak tahu, dan mengelap air mataku saat aku mencari perhatian darinya.

Saat aku memejamkan mata, teringat sosokmu, aku bingung. Aku tahu, namun tak mau paham, dan kau lupa kalau aku tetaplah seorang anak yang ingin ayahnya seperti mereka.

Bapak, ingin kutuliskan semua tentangmu, tapi tentangmu yang mana? Aku sungguh tak memahami bagaimana dirimu mengurus aku, mengurus anak-anakmu yang lain. Mungkin caramu memang berbeda dengan cara ayah lainnya. Cara yang membuatku salah paham hingga kini, hingga kau tak lagi  bersama kami.

Baapak, jika aku harus jujur, aku masih marah padamu. Kau memiliki banyak janji kepadaku. Memiliki banyak impian tentangku. Aku tak mau membicarakanmu, terkahir yang kuinggat, aku masih belum berdamai denganmu. Kau masih menjadi musuhmu saat kau pergi begitu saja menghadap Ilahi.

Namun, aku tetaplah anakmu, darah dagingmu. Tetap mendoakanmu, menangisimu, dan merasa kehilangan.

Bapak, mungkin kisah kita berdua tidaklah seru dan penuh suka-cita, tapi kita tetap punya kisah. Meski tak panjang. Doaku kulafalkan untukmu dalam setiap sujudku.

Maafkan aku, anakmu ini.